Tips Beritahu Anak Soal Prilaku Benar Dan Salah

Mengajarkan Anak Agar Mengerti Mana Hal Benar dan Salah – Aku lagi agak ragu nich. Belakangan ini anakku jikalau main sama temannya suka pulang ke tempat tinggal dan menangis. Pertama alasannya adalah dipukul perutnya sama temannya, kemarin ini sebab kepalanya kena watu, saya sendiri tidak menyaksikan kejadiannya, pada dasarnya ia mengadu bila dilempar watu, kayaknya sich watu kecil dan mungkin tidak sengaja kali ya, kurang terperinci bagaimana.

Tapi yang saya resah, cepat atau lambat ia khan akan bergaul sendiri, jauh dari rumah dan mungkin sekali dua kali akan bentrok dengan temannya mirip kini ini. Nah, aku lagi menimbang-nimbang, anakku ini aku suruh melawan temannya atau saya suruh menyerah ya? saya mikirnya jikalau saya bilang yang pada dasarnya ia menghantam balik atau melawan temannya, nantinya malah jadi berkelahi beneran, saya takut anakku nanti jadi bergairah, nakal atau sok pahlawan.

Tapi kalau saya suruh menyerah, nanti keterusan hingga besar tidak mampu `bertengkar` dan bisanya cuma pulang ke rumah menangis, khan kurang anggun juga. Enaknya bagaimana ya, bila saya ajak bicara baik-baik, rasanya sukar juga menentukan bahasa yang mudah diketahui dia. Sekarang ini sich saya cuma bilang ke beliau, jikalau temannya memukul, jangan menangis, kasih tahu jikalau itu sakit, jika perlu `tepak` tangannya saja, namun pelan. Tapi aku tidak tahu apakah ia mengerti dan apakah cara itu efektif.

Aku mengalami sendiri hal seperti itu, kemudian anaknya aku tanya baik-baik atau saya membisu-membisu mengintip di sekolah tanpa sepengetahuan si anak. Hal ini lebih aman ,alasannya adalah kita jadi mengenali apa bergotong-royong yang terjadi.

Anakku dulu juga suka dipukul oleh sobat cowoknya sampai beliau tidak inginsekolah. Pertamanya saya suruh beliau bilang ke gurunya tapi masih saja suka dipukul, kemudian aku telpon gurunya, tetapi tetap tidak sukses juga. Kemudian aku bilang ke anakku, “bila anak itu memukul, balas saja. Kalau tidak mampu menghantam, kau dorong saja. Tapi jika anak itu tidak nakal dilarang memukul atau mendorong”. Dan ternyata manjur, anak itu tidak pernah mengganggu anakku lagi, malah kaget alasannya adalah ada yang berani ke dia.

Kalau anakku, saya suruh teriak ‘stop’ atau ‘no’ yang keras, supaya gurunya dengar. Soalnya kadang-kadang gurunya kan tidak melihat mulanya, nanti jikalau anak kita membalas, dikiranya anak kita yang memulai. Sekarang mulai aku bimbing untuk galak sama anak pria. Di les berenangnya kemarin , ada anak pemuda nakal. Dia suka mengusik belum dewasa wanita.

Jadi tiap anak wanita ia cipratin air. Guru renangnya juga telah jenuh mengingatkan. Ibunya ada di pinggir kolam, cuma senyam-senyum saja. So, sekarang anakku aku ajarin galak ke anak perjaka yang badung itu. Kalau satu dua kali dikasih tahu tidak mampu, galakin saja. Teriakin! Tapi jangan sesekali membalas. Soalnya kalau satu membalas, nanti jadi berkelahi!

Kemudian setiap pulang sekolah, ditanyakan bagaimana ceritanya disekolah. Kalau ada apa-apa, langsung lapor ke gurunya. Tidak dilema kok sering-sering lapor ke gurunya. Kalau di sekolahnya memungkinkan untuk mengamati anakmu tanpa keliatan si anak ( di sekolah anakku ada booth khusus untuk tempat pengamatan), kamu sering-sering saja tongkrongin.

Anakku belum mulai sekolah sich, ini dipukul oleh teman mainnya. Padahal anaknya lebih kecil. Mungkin memang dasar anakku cengeng kali ya, dan memang saya belum pernah ajarkan atau terang-terangan memerintahkan dia membalas atau bagaimana, selama ini memang mainnya senantiasa sama adiknya dan dia yang jadi pendekar. Nah kini, ntah bagaiman , temannya ini kok saya perhatiin mulai rada ‘nakal’ gitu. Aku pikir, bagaimana beliau sekolah, jikalau main di rumah saja sedikit- sedikit menangis.

Memang kalau bisa anak diajarkan untuk mengemukakan ketidak puasannya terhadap sesuatu secara ekspresi daripada secara physical. Di sekolah anakku hal ini sungguh ditekankan. Anaknya 6,5 th, dahulu masih sungguh physical. Kalau membenci adiknya pribadi ditonjok atau dipukul.

Tapi di sekolahnya diajarkan `how to verbalize your feelings`. Baik itu feeling negatif maupun feeling positif. Makanya kalau beliau mendapat sebuah kondisi yang tidak lezat dari temannya (misal: dipukul) maka yang pertama dikerjakan adalah mengatakan jikalau dia tidak senang dipukul (contohnya dengan berkata:”jangan pukul aku, sakit”, don’t punch me, that hurts, stop it, dll) dan bukan malah membalas memukul.

Memang perlu waktu hingga bawah umur terlatih untuk bisa mengungkapkannya secara ekspresi. Anakku kini jauh berganti dengan dilatih seperti ini. Paling bila dia telah tidak tahan, beliau pukul juga adiknya karena adikknya menghantam beliau terlebih dahulu. Kemudian beliau bilang ke aku, `I already said stop it bu”!.

Paling tidak beliau berlatih untuk menahan dahulu keinginannya untuk mengungkapkannya secara fisik, gres jikalau sudah tidak mempan beliau terpaksa memakai `physical force`. Tapi usang kelamaan mereka akan sudah biasa dan tidak gampang main pukul begitu saja. Untuk positive feeling juga begitu. Kalau ia dibiasakan untuk mengungkapkan betapa senangnya dia hari ini sebab dibelikan mainan terbaru, atau diajak ke Sea World, maka si anak juga akan terbiasa mengapresiasikan perasaan orang lain. Hal ini tentunya tergantung kita untuk bersungguh-sungguh-rajin melatih dan menstimulasi. “Bagaimana tadi di sekolah, senang?, Senang tidak tadi menonton bioskopnya”? Let them verbalize their feelings and they would get accustomed to understand other people’s feelings.(ind)

Aduuh senengnya yach bila anak kita sudah berhasil mengungkapkan perasaannya secara lisan. Anakku (perjaka) tergolong salah satu yang sering tidak bisa berbuat apa-apa bila diperlakukan tidak adil dan alasannya dia sangat sensitif mungkin hal yang bagi anak lain biasa saja, bagi dia sudah hebat, pelariannya beliau menanggis.

Aku tidak pernah meminta beliau membalas memukul atau juga berlaku tidak fair ke sahabat atau orang lain untuk perlawanan pertama, kecuali jikalau sudah diperingati sobat tersebut tak maumengerti aku minta beliau bilang ke gurunya, bila masih juga belum tamat , dengan terpaksa ia harus bertahan atau melawan saya bolehkan.

Aku senantiasa ingatkan untuk menginformasikan atau mengekspresikan jikalau dia tidak suka. Pernah di sekolah pak guru meminta anak-anak untuk duduk rapi dan bergilir dipanggil, sebab heboh, anakku terlewat dan tidak dipanggil, padahal dari awal dia sudah duduk dengan rapi dan membisu. Akhirnya dia menangis alasannya ia kesal dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pak guru. 2 minggu pertama di sekolah (kelas 1 sd) ia menangis saban hari.

Aku berusaha terus mengajak ia mengekspresikan perasaannya, kalau untuk yang positif dia sudah mampu bahkan sangat suka menyenangkan orang lain, bilang terimakasih hadiahnya bagus sekali, kuenya yummy, bahkan ia tidak tega bila aku kecewa dengan sikapnya, dia akan buru-buru meminta maaf dan minta bundanya senyum, namun untuk yang negatif hingga saat ini (usia 5,10) belum terlalu kelihatan alhasil.

Membiasakan belum dewasa untuk mengungkapkan perasaannya, tidak mesti (atau tidak cuma) di sekolah saja. Bisa diawali sejak di rumah. Yang namanya belum dewasa, pasti suka rewel, kemudian menangis atau membisu saja, tidka mau bicara, cuma huh-huh. Nah, bila anakku lagi begitu, aku senantiasa bilang , bicara `donk`, use your words please.

Meski pun adakala aku tahu apa yang beliau mau, tapi jikalau dia tak inginbilang dan cuma merengek, saya diamkan saja. Memang sepertinya kejam ya, tetapi, baiknya buat mereka, belajar bicara yang betul. Selain supaya manner-nya baik dan juga mengajarkan keterbukaan dengan anak. Anakku yang besar, wanita, kan sensitif sekali. Pernah di sekolah, lagi acara parent’s party, ada orangtua murid yang memarahi anakku.

(Si Ibu ini orang poland  memang agak nyentrik penduduknya, anak orang ia marah-marahin). Anakku jadi menangis tidak keruan. Sampai guru-gurunya bingung, sebab anakku ini selalu manis di sekolah, tidak pernah menangis seperti itu. Menurut guru-guru disitu, cara bicara si Ibu itu yang salah. Harusnya, jika ada apa- apa, selaku orang remaja kita mesti bicara baik-baik terhadap anak- anak. Use our words. Jelaskan, jangan asal membentak dan memukul. Kemudian kalau memang anaknya nakal (bersalah), ya boleh saja dikasih eksekusi, namun jangan sesekali main fisik. Suruh saja masuk ke kamarnya 15 menit, atau tidak boleh main lagi sementara (kasih time out), atau dilarang menonton tv Dll. Pokoknya kasih eksekusi yang bergunalah. Seperti misalnya anakku pernah oret-oret tembok, ya saya suruh bersihin sendiri. Memang tidak bersih, tetapi ia jadi tahu, menggosok tembok itu bikin capek. Ya begitulah. So, always use your wodrs.

Senangnya anak bisa mengungkapkan secara mulut. Tapi meskipun anakku tidak bisa mengungkapkan secara verbal aku merasa Tuhan selalu kasih jalan untuk mempertahankan beliau. Kejadiannya kemarin, berdasarkan anak tetangga yang setiap hari bareng anakku, kemarin anakku ditusuk- tusuk pakai pensil sama salah seorang anak disekolah karena anakku mengambil air minum kepunyaannya.

Anakku cuma membisu tidak bisa melawan, tapi sahabat-temannya eksklusif menghampiri si anak dan bilang “do you know how painful it is? You may not hurt Jogi, if he took your water, you can tell the teacher or the principal” Aku terharu sekali sama anak-anak itu, mereka membela Jogi dengan cara yang bener-bener luar biasa. Aku baiklah , lebih baik mereka mengemukakan ketidaksukaannya secara lisan daripada balas melaksanakan hal yang sama.

Kebalikan sama anakku. Anakku ini bawel sekali. Kalau lagi protes bisa panjang dan usang ngomelnya. Sekali waktu dia `ngomelin’ tetangga sebelah rumah yang suka parkir kendaraan beroda empat seenaknya. Dan pas anakku pulang sekolah, mau turun dari kendaraan beroda empat, dia eksklusif cas-cis- cus ,”Om A ini gimana sih, baru saja kemaren dibilangin, sekarang udah begini lagi. Aku jadi tidak mampu masuk rumah nih…” dan bla- bla-bla.Tapi manjur juga, besok-besoknya si tetangga parkir di carportnya.

Ini nasehat, sesungguhnya tidak terlalu bijaksana. Anakku saya asuh untuk melawan segala bentuk kekerasan, namun dalam konteks membela diri. Tapi tidak boleh mengawali kekerasan. Artinya kalau beliau dipukul temannya , ia harus balas menghantam kalau temannya tidak mampu menerangkan mengapa ia harus dipukul.

Tapi dia boleh memulai perkelahian apabila berniat membela temannya, apalagi kalau temannya wanita dan anakku laki-laki, itu harus dibantu bela. Membela kehormatan wanita ialah keharusan buat anakku yang laki- laki. Kalau anakku perempuan, ia justru harus lebih berani lagi melawan teman-sahabat yang berusaha menindasnya. Lawan saja sekuat tenaga, pokoknya dilarang menangis apalagi terlihat lemah, akan semakin membuat sahabat-temannya gemar menindas. Jadi anak perempuan dihentikan lemah apalagi cuma bisa pasrah.

Kalau anakku laki-laki, dia dilarang menghantam perempuan, meskipun si perempuan menghantam beliau. Tapi ini justru anakku malah kelihatan sangat lembut hati dan suka menangis sedih (bahkan waktu menonton the ugly duckling, mampu- bisanya dia `mewek` nahan tangis sedih waktu si ugly duckling ini pergi dari sarang angsa sebab diejek). Kalau rebutan mainan sama temannya juga dia niscaya mengalah dan tidak suka memaksa. Kadang aku geregetan juga menyaksikan anakku mengalah terus, tapi saya biarkan saja.

Anakku juga lembut hati dan berperasaan halus. Seperti kemarin, dia di sekolah menangis hingga muntah alasannya menyaksikan temannya dimarahi shabis-habisan oleh susternya. Dan ia tidak senang menyaksikan program di TV yang sarat kekerasan (tembak-tembakan , pukul-pukulan, dst). Kalau ada program macam itu, pasti dia lari ke kamar. Sempat juga waktu menyanyi di kelas sambil memukul meja, dia juga nangis. Aku jadi bingung. Anakku itu cengeng atau berperasaan halus ya? Sebab jika beliau dipukul temannya tidak menangis (meski malamnya laporan ke aku).

Mungkin cuma sensitif saja kali, mirip anakku pagi ini saya diceritakan ibu gurunya katanya sehari menangis sampai 3 kali alasannya dikatakan comberan sama salah satu temannya sampai anakku tanya ke ibu gurunya apa arti comberan itu.

Leave a Comment